oleh Taufiq Ismail
Cahaya yang
kita rindukan dari Quran,
yaitu Quran
yang bukan cuma pajangan
tapi Quran
bacaan.
Qur’an
bacaan yang Cuma bukan bacaan,
tapi maknanya
diresapkan.
Qur’an yang
isinya menyuburkan,
Kemudian,
rumah yang di dalamnya penuh dengan getaran Qur’an,
jadilah ia
rumah yang sejuk dengan keteduhan.
Pencari nafkah
yang keluar dari rumah itu seharian,
setelah bekerja
keras dan payah,
pulang dia membawa
rezeki yang bersih dan berkah
selamat
dari lumpur kotoran zaman,
terhindar
dari hasud, khianat, dan tipuan yang menodai zaman.
Kemudian
janganlah kita biarkan Qur’an itu Cuma jadi pelnegkap perabotan,
jadikan ia
pelengkap kehidupan.
Jangan biarkan
Qur’an cuma jadi bagian dari perpustakaan,
tapi jadikanlah
ia paling utama dalam rujukan kehidupan keseluruhan.
Kemudian
jangan biarkan Qur’an hanya merdu di lidah dinyanyikan,
jadikan ia
indah dalam penerapan keseharian.
Dan jangan
biarkan Qur’an Cuma dibacakan dalam acara kematian,
jadikan ia
ucapan yang abadi sepanjang jaluran pernapasan.
Kemudian kita
semuanya melakukan pengakuan,
“ya Alah
kami mengaku ya Allah,
kami dholim
terhadap diri sendiri
kami banyak
cacat itu dan ini,
kami sering
berkata begitu tapi bertindak begini.
Namun
jangan tutupkan cahaya Qur’an itu bagi kami, ya Rabb.
Kami
mengaku kami jahil, jauh dari sempurna.
Perangai kami
tidak sedikit penyakitnya,
amal kami
betapa banyak kekurangannya,
tapi tapi
tapi ya Rabb ya Rabb ya Allah ya Rabb,
janganlah
karena itu ditutupkan cahaya Qur’an bagi kami semua”
Kemudian ketika
Quran sudah masuk ke dalam jiwa kita,
ketika Qur’an
sudah menyelinap ke dalam sukma kita,
ketika
cahaya Qur’an sudah meresap memasuki seluruh eksistensi,
tidak ada
lagi perangai ujub, yaitu congkak yang disimpan dalam hati.
Kemudian
sirna tumpas habis sifat riya,
yaitu harta
benda dan kehebatan dipamer-pamerkan.
Kemudian
tersingkir.. tersingkir perilaku bangga,
bangga yang
kepleset jadi congkak berlebihan.
Sesudah itu
padam rasa dengki dan dendam,
berganti dengan
indahnya permaafan.
Dan ketika
bersedekah,
tidak lagi
dihitung-hitung itu rupiah
apalagi
disebutkan.
Dalam berkata-kata
nada kata tidak lagi meninggi,
tapi terdengar
merdu dan tidak ada gunjing terdengar.
Tidak ada
gunjing terdengar dalam pendengaran.
Akhirnya senyum..
senyum di wajah sepanjang hari jadi perhiasan.
(Puisi ini dibacakan di Bandung pada acara Majelis Percikan Iman 4 November 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar