Selasa, 09 Februari 2016

Puisi: Merindukan Cahaya Qur’an



oleh Taufiq Ismail
Cahaya yang kita rindukan dari Quran,
yaitu Quran yang bukan cuma pajangan
tapi Quran bacaan.
Qur’an bacaan yang Cuma bukan bacaan,
tapi maknanya diresapkan.
Qur’an yang isinya menyuburkan,
dan mengukuhkan panduan sepanjang kehidupan.

Kemudian, rumah yang di dalamnya penuh dengan getaran Qur’an,
jadilah ia rumah yang sejuk dengan keteduhan.
Pencari nafkah yang keluar dari rumah itu seharian,
setelah bekerja keras dan payah,
pulang dia membawa rezeki yang bersih dan berkah
selamat dari lumpur kotoran zaman,
terhindar dari hasud, khianat, dan tipuan yang menodai zaman.

Kemudian janganlah kita biarkan Qur’an itu Cuma jadi pelnegkap perabotan,
jadikan ia pelengkap kehidupan.
Jangan biarkan Qur’an cuma jadi bagian dari perpustakaan,
tapi jadikanlah ia paling utama dalam rujukan kehidupan keseluruhan.

Kemudian jangan biarkan Qur’an hanya merdu di lidah dinyanyikan,
jadikan ia indah dalam penerapan keseharian.
Dan jangan biarkan Qur’an Cuma dibacakan dalam acara kematian,
jadikan ia ucapan yang abadi sepanjang jaluran pernapasan.

Kemudian kita semuanya melakukan pengakuan,
“ya Alah kami mengaku ya Allah,
kami dholim terhadap diri sendiri
kami banyak cacat itu dan ini,
kami sering berkata begitu tapi bertindak begini.
Namun jangan tutupkan cahaya Qur’an itu bagi kami, ya Rabb.
Kami mengaku kami jahil, jauh dari sempurna.
Perangai kami tidak sedikit penyakitnya,
amal kami betapa banyak kekurangannya,
tapi tapi tapi ya Rabb ya Rabb ya Allah ya Rabb,
janganlah karena itu ditutupkan cahaya Qur’an bagi kami semua”

Kemudian ketika Quran sudah masuk ke dalam jiwa kita,
ketika Qur’an sudah menyelinap ke dalam sukma kita,
ketika cahaya Qur’an sudah meresap memasuki seluruh eksistensi,
tidak ada lagi perangai ujub, yaitu congkak yang disimpan dalam hati.

Kemudian sirna tumpas habis sifat riya,
yaitu harta benda dan kehebatan dipamer-pamerkan.
Kemudian tersingkir.. tersingkir perilaku bangga,
bangga yang kepleset jadi congkak berlebihan.
Sesudah itu padam rasa dengki dan dendam,
berganti dengan indahnya permaafan.

Dan ketika bersedekah,
tidak lagi dihitung-hitung itu rupiah
apalagi disebutkan.
Dalam berkata-kata nada kata tidak lagi meninggi,
tapi terdengar merdu dan tidak ada gunjing terdengar.
Tidak ada gunjing terdengar dalam pendengaran.
Akhirnya senyum.. senyum di wajah sepanjang hari jadi perhiasan.

(Puisi ini dibacakan di Bandung pada acara Majelis Percikan Iman  4 November 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar