Rabu, 10 Februari 2016

Puisi: Ulang Tahun

oleh Taufiq Ismail


Pada hari ulang tahun Lia, maka berkumpullah teman-teman dan keluarganya di rumah,
dan kemudian semuanya duduk dengan rapi beraturan
kemudian tamu-tamu sudah siap masuk ke dalam acara tapi tamu-tamu itu merasa heran,
tidak ada acara potong kue dan tiup lilin.
Tidak ada tepuk tangan yang mengiringi lagu
“happy birthday to you.. happy birthday to you..”
Gak ada, gak ada yang pake pake bahasa Amerika itu.
Kemudian apa yang terjadi?
Seorang anak remaja tampil,
kemudian dia membacakan surah Luqman.
Dia membacakan surah Luqman dengan amat merdunya,
“Laa tusyrik billaah.. laa tusyrik billaah”
Dia nyanyikan lagu Qur’an yang amat merdunya,
dan suara itu berubah menjadi untaian mutiara,
yang berkilauan jadi kalung di leher pendengar.

Kemudian Lia yang beruang tahun
berpidato sangat mengharukan, katanya
“dalam acara seperti ini bukan saya yang jadi pusat perhatian,
Diperingati atau dihargai.
Tapi mama, mama yang harus jadi pusat perhatian,
Ibunda saya dan kemudian ayahanda yang jadi pusat perhatian kita.
Hari ini, enam belas tahun yang lalu mama melahirkan saya,
posisi saya sungsang, saya terlalu besar sebagai bayi.
Jadi mama harus seksio sesarea.
Aduh, mama dibedah, berdarah-darah,
Seluruh kawan keluarga sudah khawatir dan berdo’a
di ruang operasi duduk menantikan berita dengan kecemasan yang luar biasa,
tapi alhamdulillah kelahiran selamat walaupun mama sangat menderita.
Sekarang ini, enam belas tahun kemudian, ulang tahun saya dirayakan,
Saya pikir tidak logis saya jadi pusat perhatian.
Harus mama yang jadi pusat perhatian,
mama bukan saya.
Dan saya pikir tidak logis minta kado,
harus mama yang dikasih kado”.

Kemudian anak gadis itu berhenti sebentar berpidato.
dia pergi ke meja di sebelah kiri mengambil sebuah bungkusan,
kertas yang berkilat-kilat, diikat pita berbentuk bunga.
Sebauh kotak dan kemudian ia berdiri di depan mamanya.
Dan kemudian katanya, “mama, terima kasih mama. Terima kasih.
Mama telah melahirkan saya dengan susah payah,
Mama menyambung nyawa, berdarah-darah.
Persis pada malam ini enam belas tahun yang lalu,
Terima kasih lah.. terima kasih.. terima kasih ananda.
Sambutlah rasa terima kasih ananda, tidak seberapa ini harganya”

Mamanya yang tadi berdiri itu,
kemudian mendengar pidato anaknya, dia terpukau,
tidak menyangka, terharu dalam pikirannya.
Tidak menyangka dia anaknya akan memberi kado pada hari ulang tahunnya.
Dia langsung memeluk anaknya tergugup-gugup,
menangis tergugup-gugup keduanya.
Kemudian juga keduanya tersedu-sedua,
anak dan ibu sama-sama tersedu.
Hadirin yang melihat adegan itu menitikkan air mata pula,
suasana berasa mencekam,
kemudian hening agak lama,
ruangan itu terdiam.

Sesudah itu kakak pembawa acara mengambil mikrofon dan kemudia berkata,
“para hadirin yang mulia, ini memang kejutan bagi kita,
karena dengan tahun yang lalu acara ini berbeda.
Lia tidak mau tiup lilin jadi acara,
karena ditemukannya di ensklipedia
manusia zaman batu di Eropa percaya pada kekuatan nyala lilin, begitu tahayulnya,
begitu tahayul dari zaman batu.
Bahwa ternyata nyala lilin bisa mengusir sihir, roh jahat, leak dan memedi,
Termasuk si jundai setan, hantu, kuntilanak, dan genderwo.
Dan itu berlanjut ke zaman romawi kuno, lalu di karang lagi, sesudah itu dikarang lagi,
berikutnya supertisi, yaitu apabila lilin itu sekali tiup nyalanya sampai mati,
maka akan terkabul apa yang menjadi cita-cita dalam hati.
Lia tidak mau acara ulang tahunnya oleh tahayul menjadi ternoda.
Acara yang ditentukan oleh budaya jahiliyah zaman purbakala katanya.
“Koq tiupan nyala enam belas lilin bisa menentukan nasib saya?
Allah yang menentukan nasib saya… Allah yang menentukan nasib saya,
bukan nyala lilin.
Saya tidak mau dibodoh-bodohi oleh tahayul,
Walaupun itu datangnya dari barat, dari Belanda atau Amerika,
ataupun juga dari timur. Saya tidak mau dibodoh-bodohi budaya mereka.
Kemudian minta kado dari mama dan papa, minta kado dari keluarga dan kawan-kawan saya.
Saya tidak mau jadi kawanan burung kakak tua, burung beo yang pintar meniru adat belanda dan amerika dalam acara ulang tahun kita”. Begitu katanya.

Nah kemudian tadi setelah bertangis-tangisan anak dan ibu itu,
Akhirnya Lia mengusap air matanya dan di ambillah mikrofon, dan kemudian dia berkata
“kawan-kawanku hadiah yang paling saya harapkan dari kalian adalah do’a bersama,
do'a kalian bersama sesudah hamdalah dan shalawat.
Karena saya ingin jadi anak yang baik hati,
saya ingin jadi anak yang baik laku,
jadi perhiasan di leher ibuku,
jadi penyenang hati ayahku, rukun dengan kakak-kakak dan adik-adikku,
bertegur sapa dengan semua tetangga,
dan kelak ketika dewasa, berguna bagi Indonesia”.

Kemudian kawan-kawannya melihat adegan itu terkesima,
kemudian saling berkata satu sama lain,
“ini apa yang ditemukan oleh Lia ini penting sekali bagi kita,
ya kalau begitu nanti kita pada hari ulang tahun kita tidak ada acara tiup lilin,
dan kita tidak minta kado dari papa dan mama.
Mari kita contoh Lia”
 (Dibacakan di Bandung pada acara Majelis Percikan Iman 4 November 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar